Seberapa Berat Beban Jakarta Sampai Ibu Kota Perlu Pindah?



Jakarta - Pemerintah kembali mendengungkan realisasi wacana pemindahan Ibu Kota. Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, nama calon Ibu Kota baru Indonesia tersebut bahkan akan dilaporkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir Desember mendatang.

Sejumlah pendapat menyatakan pemindahan Ibu Kota merupakan hal yang baik untuk mengurangi beban Jakarta yang sudah terlalu penuh akan segala aktivitas. Ekonom Faisal Basri bahkan menyebut berbagi persoalan di Jakarta tak akan pernah selesai jika beban Jakarta sebagai kota segala aktivitas tidak dikurangi.

"Temanya bukan pemindahan ibu kota tapi pembagian tugas. Karena Jakarta bebannya terlalu berat untuk menanggung semua fungsi," katanya saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (13/12/2017).

Lantas, seberapa berat Jakarta mengemban beban sebagai Ibu Kota? (eds/mkj)


Jakarta Pusat Segala Aktivitas

Ekonom Faisal Basri mendukung wacana pemerintah yang ingin segera merealisasikan pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke luar Jawa. Menurutnya, pemindahan Ibu Kota harus dilakukan jika hal tersebut dilakukan untuk melakukan pemerataan pertumbuhan di Indonesia sekaligus menyelesaikan persoalan kepadatan Jakarta yang saat ini menjadi pusat segala aktivitas.

"Saya meyakini bahwa daya dukung Jakarta itu kalau jadi pusat segalanya memang sudah berat. Di banyak negara kan ada bagi-bagi tugas, di Jerman, Belanda, Swiss, itu ada ibu kotanya, ada pusat keuangannya, ada pusat bisnisnya. Jakarta itu tidak akan pernah selesai menyelesaikan masalahnya kalau dia rakus. Dia pusat pemerintahan, pusat keuangan, pusat olahraga, kebudayaan, kesenian, semuanya dia (Jakarta)," katanya saat ditemui di Hotel Fairmont, Jakarta, Rabu (13/12/2017).

Jakarta diyakini akan menjadi kota yang lebih maju dan berkembang manusianya jika Ibu Kota atau perannya sebagai pusat pemerintahan bisa dibagi ke kota lainnya di Indonesia, khususnya luar Pulau Jawa.

"Jakarta akan jadi kawasan kota modern, smartcity, enggak ada lagi yang namanya pasar-pasar becek, karena UMP nya akan naik. Enggak ada lagi fasilitas penyembelihan hewan. Jadi akan betul-betul jadi kota modern," ucap dia.


Beratnya Beban Jakarta
Pengamat Tata Kota, Yayat Supriatna mengatakan beban Jakarta sebagai Ibu Kota sudah terlalu berat. Menurut dia, fungsi Jakarta sebagai Ibu Kota tak lagi maksimal lantaran wilayahnya tak lagi aman dari bencana.

"Kalau Jakarta ini sudah berat bebannya, sudah terganggu, terguncang dengan bencana sedikit. Kalau misalnya cuaca ekstrem itu di atas 50 milimeter itu sudah jelas kelihatan belum optimal. dan kalau dilihat kemarin sudah buruk sekali," katanya kepada detikFinance.

Menurut Yayat, Jakarta mudah dilanda banjir saat hujan deras lantaran fungsi drainase tidak berjalan lancar. Ditambah lagi macet yang biasanya muncul saat terjadi banjir.

Ini dipicu pengemudi kendaraan, mobil maupun sepeda motor, yang mencari jalur alternatif menghindari macet sehingga terjadi penumpukan.

"Banjir itu drainase karena sungainya (tidak lancar), sehingga airnya tidak jalan lagi. Jakarta itu hanya diputar-putar kendaraan supaya tidak macet. Orang Jakarta itu sudah kondisi TBC. Tekanan Batin Capek deh," ujar Yayat.

Selain itu, pemindahan ibu kota ke luar Jawa juga sebagai wujud pemerataan pembangunan, sehingga orientasinya tidak hanya terfokus di Jawa.

"Pemindahan ibu kota lebih condong pada pemerataan pembangunan. Indonesia bukan Jawa saja, mungkin masa depan ibu kota itu di Kalimantan, Sulawesi dan Papua," pungkasnya.


Catatan Insinyur Soal Jakarta

Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Hermanto Dardak memberikan sejumlah catatan yang perlu diperhatikan pemerintah dalam menentukan lokasi calon ibu kota baru Indonesia. Menurutnya, lokasi baru ibu kota harus cukup luas agar bisa menampung seluruh infrastruktur penunjang akitivitas pemerintahan.

"Kan itu berarti pemindahan pusat pemerintahan kan. Pemerintahan juga ada kaitannya dengan yang lain lain. Kegiatan yang lain seperti bisnis perdagangan, pembangunan," katanya.

Selain itu, Dardak menyebut, lokasi baru ibu kota harus punya akses tranportasi yang bisa diandalkan untuk menuju jakarta dan sebaliknya. Mengingat, pusat bisnis tetap akan dilakukan di Jakarta.

"Di luar sektor pemerintahan, itu jalur transportasi harus dibangun (antara Jakarta dan ibu kota baru), karena kan pusat bisnis masih di Jakarta. Yang jelas pemerintahnya pindah itu implikasi dalam hal bahwa sebelumnya (ibu kota) berpusat di Jakarta. Di luar sektor pemerintahan dengan soal izin dan lain-lain yang sifatnya nasional bukan daerah," papar dia.

Catatan lainnya adalah soal hunian. Untuk membuat kota baru yang lebih produktif, ibu kota perlu dirancang agar masyarakat nyaman untuk tinggal. Tak lupa, penataan ruang seperti penyediaan ruang terbuka yang lebih banyak. Tidak seperti Jakarta yang sudah terlalu padat.

Penataan kota juga penting dilakukan untuk menjamin ketersediaan jalan dengan rasio yang cukup untuk mencegah kemacetan.

"Kebutuhan untuk menampung berbagai aktivitas pemerintahan kalau itu udah ada infrastruktur untuk bisa menampung. kita bisa merencanakan dari awal, mana yang boleh dan mana yang enggak boleh (dibangun pemukiman). Kan Jakarta itu jalannya hanya 7%," kata Dardak.

Selain tata kelola ruangan, Ibu Kota baru juga perlu memantapkan sistem transportasi umum agar masalah lonjakan jumlah kendaraan seperti yang terjadi di Jakarta tidak terjadi di ibu kota baru.

"Aman nyaman ditinggali tapi tetap produktif, pemerintahan tadi dan juga pembangunan yang berkelanjutan. Dengan perkembangan teknologi saat ini internet dengan generasi 4 teknologi, komunikasi bisa dilakukan dengan teknologi," ungkapnya.


Pemindahan Ibu Kota Harus Bertahap

Pengamat ekonomi Faisal Basri berpendapat pemindahan Ibu Kota harus dilakukan secara bertahap. Artinya kantor-kantor pemerintahan yang akan dipindahkan harus dilakukan secara bertahap alias tidak berbarengan.

"Nanti kan bertahap pindahnya. Pertama yang pindah itu sebaiknya Kementerian Kehutanan, baru Pertanian. Menteri Keuangan belakangan. Kan bangun dulu untuk kompleks PNS-nya juga. Tapi intinya ada proses, kick off, bertahap. Kementeriannya enggak tiba-tiba pindah semua," ungkapnya.

Mengenai pembiayaan, Faisal mendukung adanya upaya untuk melakukan kerja sama pemerintah dengan badan usaha. Hal ini sama seperti yang diterapkan oleh Malaysia. Nantinya pemerintah akan menyewa gedung atau bangunan maupun fasilitas yang telah dibangun oleh swasta.

"Jadi mereka (pemerintah) pakai kayak Malaysia. Diserahkan ke swasta untuk membangun. Nanti kalau sudah jadi, pemerintahnya nyewa. Swasta investasi jatuhnya. Tapi infrastruktur dasar tetap pemerintah yang sediakan," tandasnya.

Sumber : detik.com

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »